Oleh : Susilo Bambang Yudhoyono
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) nasional agaknya
berangkat dari kondisi di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan
sebagai penuh konflik dan pertikaian. Gelombang reformasi telah
menimbulkan berbagai kecederungan dan realitas baru, seperti dihujat dan
dibongkarnya format politik Orde Baru, munculnya aliansi ideologi dan
politik yang ditandai dengan menjamurnya partai politik baru, lahirnya
tuntutan daerah di luar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas
atau merdeka sendiri, serta terjadinya konflik dan benturan antara etnik
dengan segala permasalahannya. Saat negeri ini belum bisa mengatasi
krisis nasional yang masih berlangsung, terutama krisis ekonomi,
fenomena politik dewasa ini telah benar-benar meningkatkan derajat
kekhawatiran atas kukuhnya integrasi nasional kita.
Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah agenda yang belum
terselesaikan. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi, kesungguhan,
dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan itu efektif dan berhasil,
diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat. Framework
yang hendak kita bangun dalam upoaya memperkukuh integrasi nasional
paling tidak menyangkut lima faktor penting.
Pertama, membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran, dan
kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang bangsa Indonesia untuk
menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumaph
Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan rangkaian upaya menumpas
pemberontakan dan saparatisme, harus terus dilahirkan dalam hati
sanubari dan alam pikiran bangsa Indonesia.
Kedua, menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun
konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan
sesungguhnya juga demokrasi. Iklim dan budaya yang demikian itu, bagi
Indonesia yang amat majemuk, sangat diperlukan. Tentunya, penghormatan
dan pengakuan kepada mayoritas dibutuhkan, tetapi sebaliknya
perlindungan terhadap minoritas tidak boleh diabaikan. Yang kita tuju
adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan hegemoni. Karena itu,
premis yang mengatakan �The minority has its say, the majority has its
way� harus kita pahami secara arif dan kontekstual.
Ketiga, membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan pada nilai dan
norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyuburkan
integrasi nasional tidak hanya dilakukan secara struktural tetapi juga
kultural. Pranata itu kelak harus mampu membangun mekanisme peleraian
konflikk (conflict management) guna mencegah kecenderungan
langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan konflik.
Keempat, merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat
dalam segala aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan
keadilan semua pihak, semua wilayah. Kebijakan otonomi daerah,
desentralisasi, keseimbangan pusat daerah, hubungan simetris
mayoritas-minoritas, perlindungan kaum minorotas, permberdayaan putra
daerah, dan lain-lain pengaturan yang sejenis amat diperlukan. Disisi
lain undang-undang dan perangkat regulasi lain yang lebih tegas agar
gerakan sparatisme, perlawanan terhadap ideologi negara, dan kejahatan
yang berbau SARA tidak berkembang dengan luluasa, harus dapat kita
rumuskan dengan jelas.
Kelima, upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan
kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik
formal maupun informal, harus memilikim kepekaan dan kepedulian tinggi
serta upaya sungguh-sungguh untuk terus membina dan memantapkan
integrasi nasional. Kesalahan yang lazim terjadi, kita sering berbicara
tentang kondisi objektif dari kurang kukuhnya integrasi nasional di
negeri ini, serta setelah itu �bermimpi� tentang kondisi yang kita tuju
(end state), tetapi kita kurang tertarik untuk membicarakan prose dan
kerja keras yang harus kita lakukan. Kepemimpinan yang efektif di semua
ini akhirnya merupakan faktor penentu yang bisa menciptakan iklim dan
langkah bersama untuk mengukuhkan integrasi nasional.
Integrasi Nasional
Blog, Updated at: 21.19
Blog's Mas Dewa